Mengingat tugas untuk mendidik anak-anak dibebankan tanggung jawabnya pada kedua orang tua dan juga menjadi amanat yang dipikulkan di atas pundak para murabbi, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya dari mereka pada hari kiamat nanti dan akan menanyai mereka tentang apa yang telah mereka pimpin. Sebenarnya masing-masing orang diantara kita adalah pemimpin dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kita. Oleh karena itu, begitu pentingnya bagi kita untuk memahami bahwa mendidik anak itu sangatlah amat penting, karena anak merupakan amanah, dan anak merupakan cikal bakal kita untuk meneruakan perjuangan ini.
Al Ghazali rahimahullah dalam bukunya yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin
telah menyebutkan: “ Perlu diketahui bahwa jalan untuk melatih anak-anak
termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih
dari yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan
kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga. Jika ia dibiasakan
untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi
orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan
keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi
orang yang celaka dan binasa.
Orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan cara
mendidik, membersihkan pekerti, dan mengajarinya akhlak-akhlak yang mulia,
serta menghindarkannya dari teman-teman
yang berpekerti buruk. Manakala seorang
ayah melihat pada diri anaknya tanda-tanda menginjak usia tamyiz, maka
sang ibu harus meningkatkan pengawasan terhadapnya dengan baik. Hal tersebut
pada mulanya ditandai dengan munculnya rasa malu dalam diri sang anak; bilamana
sang anak mulai punya rasa segan dan malu serta tidak mau melakukan beberapa
hal tertentu, maka tiada lain hal tersebut merupakan pengaruh dari akalnya yang
mulai terang. Saat itu sang anak mulai dapat membedakan antara hal yang buruk
dan hal yang baik. Dengan demikian, sang anak merasa malu untuk melakukan
beberapa hal tertentu dan tidak malu untuk melakukan hal lainnya. Sikap ini
merupakan anugrah dari Allah yang diberikan kepadanya dan juga sebagai berita gembira yang menunjukkan kebersihan
akhlak dan kejernihan kalbunya dan juga sebagai berita gembira yang menandakan
kematangan akalnya saat menginjak usia baligh. Seorang anak yang mulai punya
rasa malu tidak boleh ditelantarkan begitu saja, tetapi rasa malu dan
pikirannya yang sudah tamyiz itu harus dijadikan sebagai sarana pembantu
oleh sang murabbi untuk
mendidiknya.
Bila pada awal
pertumbuhannya sang anak ditelantarkan begitu saja, maka kebanyakan anak yang
bersangkutan tumbuh menjadi orang yang berperangai buruk, pendusta, pendengki,
suka mencuri, suka mengadu domba, suka meminta dengan paksa, suka berbuat
iseng, suka tertawa, dan gemar melakukan tipu muslihat serta perbuatan
abnormal. Sesungguhnya semuanya itu dapat dihindari hanya dengan menerapkan
pendidikan yang baik terhadapnya, kemudian memasukkannya ke dalam sekolah
sehingga dia punya kesibukan untuk belajar
Al-Qur’an dan mendengarkan kisah orang-orang pilihan dan cerita
orang-orang yang bertaqwa serta sepak terjang mereka. Diharapkan nanti akan
tertanam dalam diri si anak kecintaan kepada orang-orang yang sholih.
Selanjutnya,
manakala mulai terlihat dalam diri sang anak akhlak yang baik dan perbuatan
yang terpuji, maka sudah saatnyalah bagi orang tuanya untuk menghormatinya
dengan memberinya penghargaan yang membuatnya senang dan makin terpacu untuk
melakukannya lagi serta memujinya dihadapan orang lain. Jika ternyata pada
suatu waktu sang anak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan yang
baik itu, hendaknya orang tua bersikap pura-pura tidak tau, jangan sampai
membuatnya merasa tersudutkan dan dipermalukannya. Terlebih lagi jika setelah
melakukan pelanggarannya, sang anak menyembunyikannya dan berupaya keras untuk
tidak diketahui oleh orang lain. Jika sang anak mengulangi kesalahan lagi,
dianjurkan agar sang ibu menegurnya secara rahasia dan mengatakan kepadanya:
”Kamu tidak baik melakukan hal yang ini dan jangan kamu ulangi lagi pada masa
mendatang. Nanti akan ketahuan oleh orang lain. “
Janganlah Anda
banyak menegurnya dengan mengomelinya setiap saat, karena nanti dia akan
terbiasa mendengar celaan yang membuatnya akan makin berani melakukan
pelanggaran dan hal-hal yang buruk. Bila
sudah demikian keadaannya, nasehat apapun tidak lagi dapat menyentuh hatinya.
Hendaklah seorang ibu menjaga wibawa ucapannya terhadap anaknya, jangan sekali-kali
mencelanya, kecuali hanya sesekali. Sang ayahpun harus ikut berperan aktif
dalam hal ini dengan mencegah anaknya melakukan hal-hal yang buruk, karena
nanti ibunya akan marah.
Dianjurkan bagi
sang ibu membiasakan anaknya untuk berjalan, bergerak, dan melakukan olahraga
agar nanti sang anak tumbuh menjadi orang yang tidak pemalas. Sang ibu harus
melarang anaknya membanggakan diri dihadapan teman-temannya dengan kekayaan
yang dimiliki oleh orangtuanya. Sebaliknya, sang ibu harus membiasakannya untuk
bersikap rendah diri, bersikap hormat kepada teman-teman sepergaulannya, dan
bersikap sopan lagi lembut dalam bertutur kata dengan mereka.
Seorang ibu harus
mengajari anaknya bahwa kemuliaan itu terletak pada sikap memberi bukan pada
sikap meminta, dan bahwa meminta-minta itu adalah pekerti yang tercela, hina,
dan rendah. Jika anak yang bersangkutan termasuk anak orang-orang yang fakir,
hendaklah diajari bahwa sikap tamak dan suka meminta-minta adalah sikap yang
hina lagi rendah. Ia harus diberi pengertian bahwa sikap tersebut termasuk
kebiasaan yang dilakukan oleh anjing, karena sesungguhnya watak anjing itu
selalu menjulurkan lidahnya menunggu datangnya makanan yang dilemparkan
kepadanya dengan penuh ketamakan.
Hendaknya sang
anak dibiasakan untuk tidak meludah dan mengeluarkan ingus ditempat ia berada.
Ia sebaiknya diperintahkan agar tidak menguap dihadapan orang lain, tidak
membelakangi orang lain, tidak duduk dengan bertumpang kaki, tidak meletakkan
tangan di bawah dagu, dan tidak menyandarkan kepala pada lengannya, karena
sesungguhnya yang demikian itu adalah sikap pemalas. Akan tetapi, sang anak
harus diajari cara duduk yang baik, tidak banyak bicara, dan harus dijelaskan
kepadanya bahwa sikap tersebut hanya pantas dilakukan oleh orang yang tidak
punya rasa malu. Seorang anak tidak boleh membiasakan diri bersumpah, baik
untuk membenarkan maupun untuk mendustakan agar tidak terbiasa dengannya
semenjak masih dalam usia dini.
Seorang anak tidak
boleh memulai pembicaraan, tetapi harap dibiasakan agar tidak berbicara kecuali
dalam rangka menjawab pertanyaan; dan kalaupun berbicara, maka hanya
seperlunya. Hendaknya anak dibiasakan untuk mendengar dengan baik perkataan
orang yang lebih tua daripadanya apapun
yang dikatakannya, bersikap hormat kepadanya, memberikan tempat duduk
kepadanya, dan duduk dengan menghadap kepadanya. Ia hendaknya diajari untuk
tidak mengucapkan kata-kata yang tidak ada gunanya dan kata-kata yang jorok,
tidak mengeluarkan kata serapah dan cacian, dan tidak bergaul dengan
orang-orang yang biasa mengucapkan sesuatu dari kata-kata tersebut, karna
sesungguhnya bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kebiasaan seperti itu
akan membuatnya ketularan oleh mereka. Hal ini perlu kita sadari karena hal yang
paling mendasar dan paling pokok dalam
mendidik anak adalah menghindarkan anak didik dari teman-teman yang buruk.
Dianjurkan agar
sang anak diajari untuk bersikap taat kepada kedua orang tua, muallim
(pengajar) , dan pendidiknya, serta setiap orang yang lebih tua usianya, baik
dari kalangan keluarga sendiri maupun orng lain. Apabila sang anak telah menginjak
usia tamyiz, jangan diperkenankan meninggalkan bersuci dan mengerjakan sholat,
dan dianjurkan untuk dilatih melakukan puasa ramadhan selama beberapa hari.
Langkah pertama
merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan dan dijaga sebaik-baiknya
karena sesungguhnya seorang anak secara fitrah diciptakan dalam keadaan siap
untuk menerima kebaikan atau keburukan. Tiada lain hanya kedua orang tuanyalah
yang membuatnya cenderung pada salah satu diantara keduanya. Sehubungan dengan
hal ini,Rasulullah SAW pernah bersabda :
كلَ مولود يولدعلى الفطرة و إنما أبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه
”Setiap
anak itu dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orang tuanyalah yang akan
menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (H.R.
Bukhari juz 1, hlm. 1292, Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya juz 1 hlm. 129, dan
Baihaqi dalam Kitab Sunannya juz 6, hlm. 11918, dan lain-lainnya.)
0 komentar:
Posting Komentar