Jumat, 12 Oktober 2012

PENTINGNYA MENDIDIK ANAK



Mengingat tugas untuk mendidik anak-anak dibebankan tanggung jawabnya pada kedua orang tua dan juga menjadi amanat yang dipikulkan di atas pundak para murabbi, kelak Allah SWT akan meminta pertanggungjawabannya dari mereka pada hari kiamat nanti dan akan menanyai mereka tentang apa yang telah mereka pimpin. Sebenarnya masing-masing orang diantara kita adalah pemimpin dan kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kita. Oleh karena itu, begitu pentingnya bagi kita untuk memahami bahwa mendidik anak itu sangatlah amat penting, karena anak merupakan amanah, dan anak merupakan cikal bakal kita untuk meneruakan perjuangan ini.  

Al Ghazali rahimahullah dalam bukunya yang berjudul Ihya ‘Ulumuddin telah menyebutkan: “ Perlu diketahui bahwa jalan untuk melatih anak-anak termasuk urusan yang paling penting dan harus mendapat prioritas yang lebih dari yang lainnya. Anak merupakan amanat di tangan kedua orang tuanya dan kalbunya yang masih bersih merupakan permata yang sangat berharga. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya dia akan tumbuh menjadi baik dan menjadi orang yang bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, jika dibiasakan dengan keburukan serta ditelantarkan seperti hewan ternak, niscaya dia akan menjadi orang yang celaka dan binasa.
Orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya dengan cara mendidik, membersihkan pekerti, dan mengajarinya akhlak-akhlak yang mulia, serta menghindarkannya dari  teman-teman yang berpekerti buruk. Manakala seorang  ayah melihat pada diri anaknya tanda-tanda menginjak usia tamyiz, maka sang ibu harus meningkatkan pengawasan terhadapnya dengan baik. Hal tersebut pada mulanya ditandai dengan munculnya rasa malu dalam diri sang anak; bilamana sang anak mulai punya rasa segan dan malu serta tidak mau melakukan beberapa hal tertentu, maka tiada lain hal tersebut merupakan pengaruh dari akalnya yang mulai terang. Saat itu sang anak mulai dapat membedakan antara hal yang buruk dan hal yang baik. Dengan demikian, sang anak merasa malu untuk melakukan beberapa hal tertentu dan tidak malu untuk melakukan hal lainnya. Sikap ini merupakan anugrah dari Allah yang diberikan kepadanya dan juga sebagai  berita gembira yang menunjukkan kebersihan akhlak dan kejernihan kalbunya dan juga sebagai berita gembira yang menandakan kematangan akalnya saat menginjak usia baligh. Seorang anak yang mulai punya rasa malu tidak boleh ditelantarkan begitu saja, tetapi rasa malu dan pikirannya yang sudah tamyiz itu harus dijadikan sebagai sarana pembantu oleh sang murabbi  untuk mendidiknya.
            Bila pada awal pertumbuhannya sang anak ditelantarkan begitu saja, maka kebanyakan anak yang bersangkutan tumbuh menjadi orang yang berperangai buruk, pendusta, pendengki, suka mencuri, suka mengadu domba, suka meminta dengan paksa, suka berbuat iseng, suka tertawa, dan gemar melakukan tipu muslihat serta perbuatan abnormal. Sesungguhnya semuanya itu dapat dihindari hanya dengan menerapkan pendidikan yang baik terhadapnya, kemudian memasukkannya ke dalam sekolah sehingga dia punya kesibukan untuk belajar  Al-Qur’an dan mendengarkan kisah orang-orang pilihan dan cerita orang-orang yang bertaqwa serta sepak terjang mereka. Diharapkan nanti akan tertanam dalam diri si anak kecintaan kepada orang-orang yang sholih.
            Selanjutnya, manakala mulai terlihat dalam diri sang anak akhlak yang baik dan perbuatan yang terpuji, maka sudah saatnyalah bagi orang tuanya untuk menghormatinya dengan memberinya penghargaan yang membuatnya senang dan makin terpacu untuk melakukannya lagi serta memujinya dihadapan orang lain. Jika ternyata pada suatu waktu sang anak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan yang baik itu, hendaknya orang tua bersikap pura-pura tidak tau, jangan sampai membuatnya merasa tersudutkan dan dipermalukannya. Terlebih lagi jika setelah melakukan pelanggarannya, sang anak menyembunyikannya dan berupaya keras untuk tidak diketahui oleh orang lain. Jika sang anak mengulangi kesalahan lagi, dianjurkan agar sang ibu menegurnya secara rahasia dan mengatakan kepadanya: ”Kamu tidak baik melakukan hal yang ini dan jangan kamu ulangi lagi pada masa mendatang. Nanti akan ketahuan oleh orang lain. “
            Janganlah Anda banyak menegurnya dengan mengomelinya setiap saat, karena nanti dia akan terbiasa mendengar celaan yang membuatnya akan makin berani melakukan pelanggaran dan hal-hal  yang buruk. Bila sudah demikian keadaannya, nasehat apapun tidak lagi dapat menyentuh hatinya. Hendaklah seorang ibu menjaga wibawa ucapannya terhadap anaknya, jangan sekali-kali mencelanya, kecuali hanya sesekali. Sang ayahpun harus ikut berperan aktif dalam hal ini dengan mencegah anaknya melakukan hal-hal yang buruk, karena nanti ibunya akan marah.
            Dianjurkan bagi sang ibu membiasakan anaknya untuk berjalan, bergerak, dan melakukan olahraga agar nanti sang anak tumbuh menjadi orang yang tidak pemalas. Sang ibu harus melarang anaknya membanggakan diri dihadapan teman-temannya dengan kekayaan yang dimiliki oleh orangtuanya. Sebaliknya, sang ibu harus membiasakannya untuk bersikap rendah diri, bersikap hormat kepada teman-teman sepergaulannya, dan bersikap sopan lagi lembut dalam bertutur kata dengan mereka.
            Seorang ibu harus mengajari anaknya bahwa kemuliaan itu terletak pada sikap memberi bukan pada sikap meminta, dan bahwa meminta-minta itu adalah pekerti yang tercela, hina, dan rendah. Jika anak yang bersangkutan termasuk anak orang-orang yang fakir, hendaklah diajari bahwa sikap tamak dan suka meminta-minta adalah sikap yang hina lagi rendah. Ia harus diberi pengertian bahwa sikap tersebut termasuk kebiasaan yang dilakukan oleh anjing, karena sesungguhnya watak anjing itu selalu menjulurkan lidahnya menunggu datangnya makanan yang dilemparkan kepadanya dengan penuh ketamakan.
            Hendaknya sang anak dibiasakan untuk tidak meludah dan mengeluarkan ingus ditempat ia berada. Ia sebaiknya diperintahkan agar tidak menguap dihadapan orang lain, tidak membelakangi orang lain, tidak duduk dengan bertumpang kaki, tidak meletakkan tangan di bawah dagu, dan tidak menyandarkan kepala pada lengannya, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah sikap pemalas. Akan tetapi, sang anak harus diajari cara duduk yang baik, tidak banyak bicara, dan harus dijelaskan kepadanya bahwa sikap tersebut hanya pantas dilakukan oleh orang yang tidak punya rasa malu. Seorang anak tidak boleh membiasakan diri bersumpah, baik untuk membenarkan maupun untuk mendustakan agar tidak terbiasa dengannya semenjak masih dalam usia dini.
            Seorang anak tidak boleh memulai pembicaraan, tetapi harap dibiasakan agar tidak berbicara kecuali dalam rangka menjawab pertanyaan; dan kalaupun berbicara, maka hanya seperlunya. Hendaknya anak dibiasakan untuk mendengar dengan baik perkataan orang  yang lebih tua daripadanya apapun yang dikatakannya, bersikap hormat kepadanya, memberikan tempat duduk kepadanya, dan duduk dengan menghadap kepadanya. Ia hendaknya diajari untuk tidak mengucapkan kata-kata yang tidak ada gunanya dan kata-kata yang jorok, tidak mengeluarkan kata serapah dan cacian, dan tidak bergaul dengan orang-orang yang biasa mengucapkan sesuatu dari kata-kata tersebut, karna sesungguhnya bergaul dengan orang-orang yang mempunyai kebiasaan seperti itu akan membuatnya ketularan oleh mereka. Hal ini perlu kita sadari karena hal yang paling mendasar  dan paling pokok dalam mendidik anak adalah menghindarkan anak didik dari teman-teman yang buruk.
            Dianjurkan agar sang anak diajari untuk bersikap taat kepada kedua orang tua, muallim (pengajar) , dan pendidiknya, serta setiap orang yang lebih tua usianya, baik dari kalangan keluarga sendiri maupun orng lain. Apabila sang anak telah menginjak usia tamyiz, jangan diperkenankan meninggalkan bersuci dan mengerjakan sholat, dan dianjurkan untuk dilatih melakukan puasa ramadhan selama beberapa hari.
            Langkah pertama merupakan hal paling penting yang harus diperhatikan dan dijaga sebaik-baiknya karena sesungguhnya seorang anak secara fitrah diciptakan dalam keadaan siap untuk menerima kebaikan atau keburukan. Tiada lain hanya kedua orang tuanyalah yang membuatnya cenderung pada salah satu diantara keduanya. Sehubungan dengan hal ini,Rasulullah SAW pernah bersabda :
          كلَ مولود يولدعلى الفطرة و إنما أبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه
 Setiap anak itu dilahirkan menurut fitrahnya, maka hanya kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya seorang Yahudi, seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (H.R. Bukhari juz 1, hlm. 1292, Ibnu Hibban dalam Kitab Shahihnya juz 1 hlm. 129, dan Baihaqi dalam Kitab Sunannya juz 6, hlm. 11918, dan lain-lainnya.)

0 komentar:

Posting Komentar