Rabu, 23 Januari 2013

Hubungan Tauhid dengan Ekonomi



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
          Agama mempunyai tiga pondasi pokok yaitu iman, islam dan ihsan. Dalam konteks kekinian iman sering disebut dengan teologi, ilmu kalam, aqidah, atau tauhid. Adapun Islam, sering diekuivalenkan dengan syari’at atau fiqih. Sedangkan ihsan terkadang diistilahkan dengan tasawuf atau akhlak.
          Iman atau tauhid itu sendiri merupakan unsur utama dalam suatu agama. Ia merupakan ilmu yang bersifat global (kulli). Sedangkan ilmu-ilmu yang lain bersifat parsial (juz’i), sehingga ilmu-ilmu yang lain yang bersifat juz’i itu harus dilandasi dengan ilmu tauhid yang bersifat kulli.

Ilmu tauhid itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti sifat-sifat Tuhan. Adapun hakikat tauhid dalam Islam itu sebenarnya adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun muamalah, dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tauhid menjadi dasar seluruh konsep dan aktifitas umat Islam, baik dalam ibadah, seperti shalat, puasa, membayar zakat, haji, dan sebagainya, juga dalam bermuamalah, seperti dalam hal ekonomi, politik, sosial maupun budaya.
Nilai-nilai tauhid dalam beribadah, tampak jelas dan merupakan sesuatu yang lumrah, karena ibadah itu pasti didasari oleh keimanan atau ketauhidan kepada Allah. Berbeda halnya dalam bermuamalah. Banyak orang yang tauhidnya mantap ketika beribadah kepada Allah, tetapi dalam bermuamalah, ia justru tidak menampakkan sedikitpun nilai-nilai tauhid yang ada pada dirinya. Banyak orang yang tidak pernah meninggalkan shalat, tapi jarang juga meninggalkan maksiat. Banyak orang yang rajin puasa, tapi tekun juga berkata dusta. Banyak orang yang sering mengerjakan ibadah haji dan umrah, tetapi sering juga menipu orang dalam bertijarah.
Problematika-problematika di atas adalah fenomena yang sering kita hadapi dalam kehidupan bermasyarakat, terutama dalam kegiatan sosial ekonomi. Betapa banyak umat Islam yang tekun dalam beribadah, tetapi jarang aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, tidak sehat dalam berpolitik, sering berlaku tidak jujur dalam bertijarah ataupun dalam kegiatan-kegiatan ekonomi yang lain, dan masih banyak kegiatan-kegiatan muamalah yang tidak didasari dengan nilai-nilai tauhid.
Seyogyanya umat Islam tidak hanya tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam bermuamalah. Dengan kata lain, umat Islam itu di samping memiliki keshalihan ritual, juga harus memiliki keshalihan sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini dibahas tentang Hubungan Tauhid dengan Ekonomi, sebagai pedoman dasar bagi kita untuk mengimplementasikan nilai-nilai tauhid yang kita miliki dalam bentuk aktifitas sehari-hari terutama dalam kegiatan ekonomi.

B.       Rumusan  Masalah
            Berdasarkan latar belakang masalah yang dijelaskan di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan ini, yaitu :
1.      Apa pengertian tauhid?
2.      Apa pengertian ekonomi?
3.      Bagaimana pendekatan Islam terhadap ekonomi?
4.      Apa hubungan maqashid as syariah dan ilmu ekonomi?
5.      Bagaimana sejarah  ekonomi Islam?
6.      Apa hukum mencari nafkah dalam Islam?
7.      Apa hak dan kewajiban terhadap harta?
8.      Bagaimana cara membangun ekonomi dengan prinsip tauhid?

C.      Tujuan Penulisan
          Sejalan dengan rumusan masalah di atas, pembahasan ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui pengertian tauhid.
2.      Mengetahui pengertian ekonomi.
3.      Mengetahui pendekatan Islam terhadap ekonomi.
4.      Mengetahui maqashid as syariah dan ilmu ekonomi.
5.      Mengetahui sejarah ekonomi Islam.
6.      Mengetahui hukum mencari nafkah dalam Islam.
7.      Mengetahui hak dan kewajiban terhadap harta.
8.      Mengetahui membangun ekonomi dengan prinsip tauhid.

























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Tauhid
          Kata tauhid berasal dari bahasa Arab yaitu kata “wahhada” ( و حــد ), “yuwahhidu” ( يــو حــد ), “tauhid” ( تــو حــيـد ), yang berarti mengesakan. Sedangkan menurut istilah, tauhid adalah mengesakan Allah ta’ala dalam uluhiyah, rububiyah, nama-nama dan sifat-sifatNya.
Menurut Ibnu Khaldun[1]
التوحيد هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين فى الإعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة.
“Ilmu tauhid ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman, dengan mempergunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan salaf dan ahli sunnah.”
Menurut ulama-ulama Ahli Sunnah[2]
وأما التوحيد أن الله تعالى واحد فى ذاته لا قسيم له. وواحد فى صفاته الأزلية لا نظير له وواحد فى أفعاله لا
“Adapun tauhid itu ialah bahwa Allah SWT itu Esa dalam Dzatnya, tidak terbagi-bagi. Esa dalam sifat-sifat-Nya yang azali, tiada tara bandingan bagi-Nya dan Esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya tiada sekutu bagi-Nya.”

B.     Pengertian Ekonomi
Ekonomi adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan setiap tindakan atau proses yang bersangkut paut dengan penciptaan barang atau jasa yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia.[3]
Ekonomi berdasar Syari’ah (Ekonomi Islam) adalah ekonomi yang berdasarkan tauhid. Landasan filosofis inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalisme dan sosialisme, karena keduanya didasarkan pada filsafat sekularisme dan materialisme.
Harun yahya menyatakan, Istilah kapitalisme berarti kekuasaan ada di tangan kapital, sistem ekonomi bebas tanpa batas yang didasarkan pada keuntungan, di mana masyarakat bersaing dalam batasan-batasan ini. Terdapat tiga unsur penting dalam kapitalisme: pengutamaan kepentingan pribadi (individualisme), persaingan (kompetisi) dan pengerukan kuntungan. Individualisme penting dalam kapitalisme, sebab manusia melihat diri mereka sendiri bukanlah sebagai bagian dari masyarakat, akan tetapi sebagai “individu-individu” yang sendirian dan harus berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. “Masyarakat kapitalis” adalah arena di mana para individu berkompetisi satu sama lain dalam kondisi yang sangat sengit dan kasar.
Adapun perbedaan antara Ekonomi Islam dengan Ekonomi Sekuler dapat kita perhatikan dalam tabel di bawah ini :
Ditinjau dari Segi
Ekonomi Islam
Ekonomi Sekuler
Tujuan
Mengejar tujuan spiritual; ketaatan kepada aturan tuhan sebagai bentuk penghambaan tertinggi
Mengejar tujuan material
Penggerak Utama
Kerjasama dan semangat persaudaraan
Individualisme
Perhatian Utama
Kesejahteraan seluruh umat manusia
Maksimisasi keuntungan Personal
Rasionalitasdari Kebenaran atau Realitas
Menggabungkan aspek spiritual maupun aspek material
Hanya berfokus pada aspek material, memisahkan aspek spiritual dan aspek material
Sumber Pengetahuan Utama
Wahyu Tuhan, yaitu Al Quran dan Sunnah
Pemikiran manusia
Cara Berfikir
Berbasis kepercayaan pada Tuhan
Berbasis pada hukum alam yang deterministik

C.    Pendekatan Islam Terhadap Ekonomi
       Ekonomi Islam berbasis pada paradigma di mana keadilan ekonomu-sosial menjadi tujuan utama. Paradigma keadilan ini berakar pada kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan langit dan bumi untuk kepentingan seluruh umat manusia. Semua sumber daya ekonomi pada hakikatnya adalah titipan dari Sang Pencipta yang penggunaannya harus dipertanggungjawabkan di akhirat nanti.
       Dalam persepektif Islam, kesejahteraan manusia tidak dipandang sebagai sesuatu yang sepenuhnya bergantung pada maksimasi kekayaan, namun dibutuhkan kepuasan yang seimbang antara kebutuhan material dan spiritual dari manusia. Perilaku individu yang berorientasi moral pada lingkungan politik dan sosial-ekonomi yang sesuai, akan membantu realisasi keadilan ekonomi-sosial dan kesejahteraan seluruh umat manusia.

D.    Maqashid As-Syari’ah dan Ilmu Ekonomi
       Menurut Imam Al Ghazali (w. 505/1111), tujuan utama syariah Islam (maqashid as-syari’ah) adalah mewujudkan kemanfaatan untuk umat manusia (mashaalih al-iibaad). Maslahah dapat diwujudkan apabila lima unsur pokok (ushuul al-khamsah) dapat diwujudkan dan sipeliahara, yaitu agama (diin), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl) dan harta (maal). Maka apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum (maslahah) dan dikehendaki. Oleh karena itu, seluruh barang dan jasa yang mempromosikan maslahaah maka dikatakan sebagai kebutuhan manusia.
       Dalam Islam, pelaku ekonomi akan terdorong untuk memproduksi barang dan jasa berbasis maslahah dalam tiga tingkatan prioritas, yaitu dharuriyyat (hal-hal yang mendasar), hajiyyat (segala kebutuhan yang melengkapi hal mendasar) dan tahsiniyyat (segala hal yang memperbaiki atau memperindah hal mendasar). Semakin tinggi prioritasnya, semakin besar nilai maslahah yang dikandungnya. Prioritas dalam ekonomi Islam yang berbasis maslahah ini secara radikal berbeda dari prioritas dalam ekonomi konvensial yang berbasis utility dan profit.
       Maqashid memiliki peran penting dalam alokasi dan distribusi sumber daya. Hal ini dikarenakan keimanan memberi dampak signifikan terhadap hakikat, kuantitas dan kualitas kebutuhan material dan non-material manusia beserta cara pemuasannya. Iman juga berfungsi sebagai filter moral yang akan mengkontrol self-interest dalam batas-batas social-interest. Sedangkan jiwa, akal dan keturunan adalah kebutuhan moral, intelektual dan psikologis manusia yang sangat penting. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini akan menciptakan pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia dan juga akan berpengaruh signifikan terhadap variabel-variabel ekonomi yang penting, seperti konsumsi, tabungan dan investasi, lapangan kerja dan produksi, serta distribusi pendapatan.
1.        Pandangan Islam tentang Produksi
     Aktivitas ekonomi termasuk bagian dari ibadah dan menjadi tugas manusia di muka bumi. Allah berfirman dalam Al Quran surat Al Mulk :15 : “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rizki-Nya...”.
     Kerja merupakan unsur produksi terpenting, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatan hidup. Akan tetapi dalam proses produksi harus sesuai dengan batas-batas tertentu (halal) dan memelihara lingkungan dan sumber daya alam.
     Tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan individu dan merealisasikan kemandirian ummat. Tujuan produksi dalam tingkatan individu yaitu terpenuhinya kebutuhan individu secara sempurna berdasarkan kelayakan keadaan sesuai zaman dan lingkungannya. Tujuan produksi dalam tingkatan ummat yaitu terpenuhinya kemampuan, keahlian dan prasarana yang dengannya manusia bisa melaksanakan urusan agama nad nunianya.
     Oleh karena itu Islam mewajibkan umatnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup, kemaslahatan keluarga, kemaslahatan masyarakat dan untuk memakmurkan bumi.
2.        Pandangan Islam tentang Distribusi
     Dalam ekonomi Islam mekanisme distribusi harta berkaitan erat dengan nilai moral Islam sebagai alat untuk menghantarkan manusia pada kesejahteraan akhirat. Bahwa kewajiban hamba kepada Tuhannya merupakan prioritas utama dari segala tindakan manusia menjadikan mekanisme distribusi kekayaan yang bertujuan pada pemerataan menjadi sangat urgent dalam perekonomian Islam, karena diharapkan setiap manusia dapat menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa harus dihalangi oleh hambatan yang wujud diluar kemampuannya. Oleh sebab itulah fungsi utama dan pertama dari negara adalah memastikan terpenuhinya kebutuhan minimal seluruh rakyat negara tersebut.
     Berikanlah hak kerabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan. Yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah dan merekalah yang akan berjaya. Dan uang yang kalian berikan untuk diperbungakan sehingga mendapat tambahan dari harta orang lain, tidaklah mendapat bunga dari Allah. Tetapi yang kalian berikan berupa zakat untuk mencari wajah Allah, itulah yang mendapat bunga. Mereka yang berbuat demikianlah yang beroleh pahala yang berlipat ganda.” (Ar Rum: 38-39)
     Distribusi melalui zakat mendorong peningkatan agregat permintaan dan menjamin perekonomian berputar pada tingkat minimum sehingga pertumbuhan ekonomi bukan saja ada dalam kondisi pertumbuhan yang stabil tapi juga terdorong untuk terus meningkat.
3.        Pandangan Islam tentang Konsumsi
     Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
     Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri.
     Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
a.    Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
       Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
b.    Tidak melakukan kemubadziran.
      Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
1)      Menjauhi berhutang
    Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
2)      Menjaga asset yang mapan dan pokok.
    Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3)      Tidak hidup mewah dan boros.
    Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
4)      Kesederhanaan.
    Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5)      Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6)      Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7)      Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam. 

E.     Sejarah Ekonomi Islam
       Ketika peradaban Islam berada di puncak kejayaan, pada saat yang sama Eropa sedang terpuruk dalam keterbelakangan. Adalah sebuah fakta sejarah yang tidak terbantahkan bahwapemikiran-pemikiran ekonomi di Eropa baru muncul pertama kali di tangaen para filosof Skolastik pada abad ke-12 hingga ke-15. Sebelum periode itu, Eropa berada pada masa kegelapan; dark ages. Keterbelakangan Eropa dalam praktek dan teknik ekonomi ini dapat ditelusuri dari “kondisi ekonomi masyarakat yang sangat buruk”,”nyaris tanpa industri dan perdagangan”,sehingga sama sekali tidak memiliki tradisi ekonomi.[4]
       Ibukota Spanyol muslim, Kordova, adalah kota paling berbudaya di Eropa dan bersama-sama Konstantinopel dan Baghdad, menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu. Dan kemajuan dalam bidang pertanian merupakan salah satu sisi keagungan Spanyol Muslim dan menjadi hadiah abadi Arab Muslim kepada daratan Eropa. Selain itu masih banyak lagi kemajuan-kemajuan yang dihasilkan oleh Spanyol Muslim pada saat itu, namun seakan-akan sejarah itu hilang. Berikut adalah rantai sejarah yang hilang:
1.      Sejarah Pemikiran ekonomi modern diklaim berasal dari pemikiran ekonomi para filsuf Yunani untuk kemudian bangkit kembali di Eropa melalui para pemikir Skolastik.
2.      Periode antara pemikir Yunani  dan pemikir Skolastik, yaitu perode kajayaan pemikir Muslim, dianggap steril dan tidak produktif. Periode  ini diberi label “blank centuries”
3.      Kontribusi pemikiran ekonomi islam dalam ekonomi modern dihilangkan secara vulgar.
4.      Mengabaikan kontribusi pemikiran dari peradaban islam  dan Arab yang berjaya selama lebih dari 700 tahun, adalah sebuah arogansi intelektual dan ketidakobjektifan yang serius.
5.      Mirakhor (1987) menunjukkkan bahwa motivasi dan kesempatan yang ada pada ilmuwan Eropa abad pertengahan, banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan institusi ekonomi yang dibangun pada masa pertengahan islam.
6.      Ghazanfar (2000) secara jelas menunjukkan kesamaan dan kemiripan antara pemikiran ekonomi dua ilmuwan besar abad pertengahan yang terpisah waktu 200 tahun; pemikir Arab Islam Abu Hamid Al Ghazali (1058-1111) dan pemikir latin Kristen St. Thomas Aquinas (1225-1274). Ilmuwan-ilmuwan barat pun mengakui hal ini bahkan secara eksplisit menyimpulkan bahwa Aquinas sangat menyandarkan diri pada Al Ghazali.
7.      Berbagai teori-teori ekonomi permulaan yang dicetuskan ilmuwan Eropa, diduga keras merupakan pencurian dari ilmuwan Muslim-Arab.

F.     Kewajiban Mencari Nafkah
       Secara bahasa النفقة   (nafkah) artinya sesuatu yang dibelanjakan sehingga habis tidak tersisa. Sedangkan secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal.
Dari Miqdan r.a. dari Nabi Muhammad Saw, bersabda: Tidaklah makan seseorang lebih baik dari hasil usahanya sendiri. Sesungguhnya Nabi Daud a.s., makan dari hasil usahanya sendiri.” (H.R. Bukhari)
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw: Sesungguhnya Nabi Daud a.s., tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri.” (HR. Bukhari)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh, seandainya salah seorang di antara kalian mencari kayu bakar dan memikul ikatan kayu itu, maka itu lebih baik, daripada ia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya ataupun tidak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Abdullah Az-Zubair bin Al-‘Awwam r.a., ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Sungguh seandainya salah seorang di antara kalian mengambil beberapa utas tali, kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, kemudian dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupmu, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada sesama manusia, baik mereka memberi ataupun tidak.” (HR. Bukhari)
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda: Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
Rasulullah saw pernah ditanya, Pekerjaan apakah yang paling baik? Beliau menjawab, Pekerjaan terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua perjualbelian yang dianggap baik,” (HR Ahmad dan Baihaqi).
Dalam hadits-hadits yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa bekerja merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Rasulullah saw memberikan pelajaran menarik tentang pentingnya bekerja. Dalam Islam bekerja bukan sekadar memenuhi kebutuhan perut, tapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya, bekerja dalam Islam menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri.
Ketika seseorang merasa kelelahan atau capai setelah pulang bekerja, maka Allah Swt mengampuni dosa-dosanya saat itu juga. Selain itu, orang yang bekerja, berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk membiayai kebutuhannya sendiri ataupun kebutuhan anak dan isteri (jika sudah berkeluarga), dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Dengan demikian Islam memberikan apresiasi yang sangat tinggi bagi mereka yang mau berusaha dengan sekuat tenaga dalam mencari nafkah (penghasilan).
Kerja juga berkait dengan martabat manusia. Seorang yang telah bekerja dan bersungguh-sungguh dalam pekerjaannya akan bertambah martabat dan kemuliannya. Sebaliknya, orang yang tidak bekerja alias menganggur, selain kehilangan martabat dan harga diri di hadapan dirinya sendiri, juga di hadapan orang lain. Jatuhnya harkat dan harga diri akan menjerumuskan manusia pada perbuatan hina. Tindakan mengemis, merupakan kehinaan, baik di sisi manusia maupun di sisi Allah SWT.
Seperti hadits di atas Rasulullah menutarakan bahwa orang yang pergi ke gunung dengan membawa seutas tali untuk mencari kayu bakar yang kemudian ia jual, maka apa yang dihasilkan dari menjual kayu bakar itu lebih baik daripada ia meminta-minta kepada sesama manusia.
Nabi Muhammad Saw serta para sahabat pekerja keras. Bahkan beberapa sahabat merupakan saudagar kaya yang kerap kali memberikan hartanya untuk membiayai pasukan Islam tatkala harus bertempur dengan musuh-musuh Islam.
Bekerja dalam Islam akan mendapatkan pahala, kenapa? Jawabannya sederhana, karena bekerja dalam konsep Islam merupakan kewajiban atau fardhu. Dalam kaidah fiqh, orang yang menjalankan kewajiban akan mendapatkan pahala, sedangkan mereka yang meninggalkannya akan terkena sanksi dosa. Tentang kewajiban bekerja, Rasulullah bersabda, Mencari rezeki yang halal itu wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa dan sebagainya), (HR ath-Thabrani dan al-Baihaqi)
Karena bekerja merupakan kewajiban, maka tak heran jika Umar bin Khaththab pernah menghalau orang yang berada di masjid agar keluar untuk mencari nafkah. Umar tak suka melihat orang yang pada siang hari tetap asyik duduk di masjid, sementara sang mentari sudah terpancar bersinar.
Akan tetapi perlu diingat bahwa yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas adalah orang yang bekerja sesuai dengan ajaran Islam. Bekerja pada jalur halal dan bukan bekerja dengan pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT.
       Adapun Keutaman Mencari Nafkah diantaranya adalah:
1.      Nafkah kepada keluarga lebih afdhol dari sedekah tathowwu’ (sunnah)
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِى رَقَبَةٍ وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِى أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
     Satu dinar yang engkau keluarkan di jalan Allah, lalu satu dinar yang engkau keluarkan untuk memerdekakan seorang budak, lalu satu dinar yang engkau yang engkau keluarkan untuk satu orang miskin, dibandingkan dengan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu maka pahalanya lebih besar (dari amalan kebaikan yang disebutkan tadi, pen)” (HR. Muslim no. 995).
Imam Nawawi membuat judul untuk hadits ini, “Keutamaan nafkah bagi keluarga dan hamba sahaya, serta dosa bagi orang yang melalaikan dan menahan nafkahnya untuk mereka”. Dalam Syarh Muslim (7: 82), Imam Nawawi mengatakan, “Nafkah kepada keluarga itu lebih afdhol dari sedekah yang hukumnya sunnah”.
2.      Jika mencari nafkah dengan ikhlas, akan menuai pahala besar
Dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا ، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فِى امْرَأَتِكَ
Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampai pun makanan yang kamu berikan kepada istrimu.” (HR. Bukhari no. 56).
Imam Al Bukhari memasukkan hadits ini pada masalah ‘setiap amalan tergantung pada niat’. Ini menunjukkan bahwa mencari nafkah bisa menuai pahala jika diniatkan dengan ikhlas untuk meraih wajah Allah. Namun jika itu hanya aktivitas harian semata, atau yakin itu hanya sekedar kewajiban suami, belum tentu berbuah pahala.
3.      Memberi nafkah termasuk sedekah
Dari Al Miqdam bin Ma’dikarib, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَطْعَمْتَ نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ زَوْجَتَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ وَمَا أَطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad 4: 131. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan).
4.      Harta yang dinafkahi semakin barokah dan akan diberi ganti
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفً
Tidaklah para hamba berpagi hari di dalamnya melainkan ada dua malaikat yang turun, salah satunya berkata, “Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang senang berinfak.” Yang lain mengatakan, “Ya Allah, berilah kebangkrutan kepada orang yang pelit.” (HR. Bukhari no. 1442 dan Muslim no. 1010). Seseorang yang memberi nafkah untuk keluarganya termasuk berinfak sehingga termasuk dalam keutamaan hadits ini.
5.      Setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban apakah ia benar memperhatikan nafkah untuk keluarganya
Dari Anas bin Malik, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin” (HR. Tirmidzi no. 1705. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat Ibnu Hibban disebutkan,
إن الله سائل كل راع عما استرعاه : أحفظ أم ضيع
Allah akan bertanya pada setiap pemimpin atas apa yang ia pimpin, apakah ia memperhatikan atau melalaikannya” (HR. Ibnu Hibban 10: 344. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
6.      Memperhatikan nafkah keluarga akan mendapat penghalang dari siksa neraka ‘Adi bin Hatim berkata,
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
Selamatkanlah diri kalian dari neraka walau hanya melalui sedekah dengan sebelah kurma” (HR. Bukhari no. 1417)
‘Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ
“Ada seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makanan pun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka aku pun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikit pun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka aku pun mengabarkannya tentang ini, lantas beliau bersabda,
مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka" (HR. Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629).
Hadits terakhir ini menerangkan keutamaan memberi nafkah pada anak perempuan karena mereka berbeda dengan anak laki-laki yang bisa mencari nafkah, sedangkan perempuan asalnya di rumah.

G. Hak dan Kewajiban Terhadap Harta
Pandangan Islam mengenai harta dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      Pemiliki Mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini adalah Allah Swt. Kepemilikan oleh manusia bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuanNya (QS al_Hadiid: 7). Dalam sebuah Hadits riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda:
“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.
2.      Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut :
a.       Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada.
b.      Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan ( Ali Imran: 14). Sebagai perhiasan hidup harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan serta kebanggaan diri.(Al-Alaq: 6-7).
c.       Harta sebgai ujian keimanan. Hal ini menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam atau tidak (al-Anfal: 28)
d.      Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksankan perintahNyadan melaksanakan muamalah si antara sesama manusia, melalui zakat, infak, dan sedekah.(at-Taubah :41,60; Ali Imran:133-134).
3.      Pemilikan harta dapat dilakukan melalui usaha (amal) atau mata pencaharian (Maisyah) yang halal dan sesuai dengan aturanNya. (al-Baqarah:267)
“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang bekerja. Barangsiapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untk keluarganya maka sama dengan mujahid di jalan Allah” (HR Ahmad).
“Mencari rezki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain”. (HR Thabrani)
4.      Dilarang mencari harta, berusaha atau bekerja yang melupakan mati (at-Takatsur:1-2), melupakan Zikrullah/mengingat ALLAH (al-Munafiqun:9), melupakan sholat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7)
5.      Dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, jual beli barang yang haram (al-maidah :90-91), mencuri merampok (al-Maidah :38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah:188), dan melalui suap menyuap (HR Imam Ahmad).
Imam Sajjad mengatakan, "Hak harta dan kekayaan adalah hendaknya ia tidak diperoleh kecuali melalui jalan yang halal dan jangan digunakan kecuali untuk keperluan yang halal. Jangan engkau belanjakan harta bukan pada tempatnya dan jangan engkau alihkan kepada orang lain melalui jalan yang tidak benar. Karena harta itu engkau dapatkan dari Allah maka jangan engkau gunakan kecuali untuk mendekatkan dirimu kepada Allah. Jangan engkau dahulukan orang yang tidak berterima kasih kepadamu dari dirimu dengan hartamu, sebab bisa jadi ia akan menggunakannya di jalan yang tidak diridhai Tuhanmu."
Sedangkan kewajiban terhadap harta antara lain :
1.    Zakat
Zakat adalah kewajiban periodik harta, dan wajib dikeluarkan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Dalam kondisi biasa seorang muslim tidak diwajibkan selain zakat, kecuali dengan sukarela.
2.    Dalam kondisi darurat terdapat kewajiban harta selain zakat, yang disepakati para ulama, yaitu:
a.       Hak kedua orang tua, dalam bentuk nafkah yang mereka butuhkan pada saat anaknya kaya.
b.      Hak kerabat, dengan perbedaan tingkat kedekatan yang mewajibkan nafkah.
c.       Hak orang-orang yang sangat membutuhkan pakaian atau rumah tinggal.
d.      Membantu keluarga untuk membayar diyat pembunuhan yang tidak disengaja.
e.       Hak kaum muslimin yang sedang ditimpa bencana.

H.    Membangun Ekonomi dengan Prinsip Tauhid
Chapra (2010) menjelaskan, bahwa pembangunan ekonomi Islam dibangun berdasarkan prinsip Tauhid serta etika mengacu pada tujuan syariah atau maqashid al-syariah. Yaitu memelihara: (1) iman atau faith, (2) hidup ataulife; (3) nalar atau intellect; (4) keturunan atau posterity; dan (4) kekayaan atau wealth.
Konsep ini adalah bukti yang menjelaskan bahwa konsep dan sistem ekonomi Islam, hendaknya berawal dari bangunan sebuah keyakinan atau iman atau faith, dan berakhir dengan kekayaan atau property. Diharapkan pada gilirannya tidak akan muncul kesenjangan ekonomi atau perilaku ekonomi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ekonomi syariah.
Basis utama sistem ekonomi syariah, adalah terletak pada aspek kerangka dasarnya yang berlandaskan hukum Islam atau syariah. Terutama pada aspek tujuannya, yaitu mewujudkan suatu tatanan ekonomi masyarakat yang sejahtera berdasarkan: (1) keadilan; (2) pemerataan; dan (3) keseimbangan.
Atas dasar itulah, pemberdayakan Ekonomi Syariah dilakukan dengan strategi yang ditujukan bagi perbaikan kehidupan dan ekonomi masyarakat. Sistem ekonomi Islam memiliki pijakan yang sangat tegas bila dibandingkan dengan sistem ekonomi liberal. Bahkan bagi yang berfaham sosialis sekalipun. Dalam sistem skonomi liberal, menghendaki lebih pada elemen kebebasan absolute individu.  Termasuk di dalam memperoleh keuntungan keadilan non-distributif. Semisal dalam sistem sosialis-komunis, menekankan kepada aspek pemerataan ekonomi (keadilan yang merata). Yaitu dengan teknik membenturkan dua pertentangan kelas sosial, yang teridir dari: (1) kelas borjuis; dan (2) kelas proletar.
Sementara dalam faham Islam, asas kolektivitas yang sama rata serta sama rata, adalah melanggar sunatullah. Karena pada dasarnya manusia memang berbeda satu dengan lainnya, agar dapat saling belajar satu dengan lainnya. Sistem ekonomi Islam menganut Asas Equilibrium, yaitu dengan “menjembatani” antara sikaya dan simiskin. Atau kelompok masyarakat borjuis dengan masyarakat proletar melalui konsep ZIS (Zakat, Infaq, Sadaqah) sreta Waqaf.  Sistem ekonomi Islam mengutamakan aspek hukum serta etika, yaitu berupa adanya keharusan mengimplementasikan beberapa prinsip hukum serta etika bisnis Islami. Implementasinya berupa prinsip:
1.      Prinsip keadilan (al’adl)
Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar mesti disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri. Maka dari itu Kemestian berlaku adil dalam muamalat mesti ditegakan di dalam keluarga dan masyarakat muslim itu sendiri. Bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.
2.      Prinsip amar makruf nahi munkar
Prinsip Amar Makruf berarti hukum Islam digerakan untuk, dan merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang di kehendaki dan diridloi Allah. Sedangkan nahi munkar berarti fungsi social controlnya.
3.      Prinsip kemerdekaan atau kebebasan (al-hurriyah)
Dalam prinsip kebebasan ini menghendaki adanya agar dalam melaksanakan muamalat tidak berdasarkan paksaan. Seperti dalam penikahan tidak adanya paksaan akan tetapi setiap orang berhak dan bebas memilih calon untuk pasangan hidupnya.
4.      Prinsip persamaan (al-musawah)
Dalam Al-qur’an surat ke 49 al-Hujurat ayat 13, ditujukan kepada seluruh umat manusia, tidak terbatas bagi kaum muslim saja. Ayat ini menghendaki tidak ada perbedaan antar sesama manusia, dengan alasan apapun Begitupun manusia dalam muamalat.
5.      Prinsip tolong-menolong (al-ta’awun)
Prinsip ta’awun dalam muamalat berarti bantu-membantu antar sesama anggota masyarakat. Seperti adanya jual-beli, pinjam-meminjam ataupun yang lainnya.
6.      Prinsip toleransi (tasamuh)
Toleransi yang dikehendaki oleh Islam ialah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya. Hukum Islam mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras, dan warna kulit.




















BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
        Tauhid adalah ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan dan yang berkaitan dengannya, seperti sifat-sifat Tuhan. Hakikat tauhid dalam Islam itu sendiri adalah penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Allah, baik menyangkut ibadah maupun muamalah.
        Umat Islam, seyogyanya tidak hanya tekun dalam beribadah, tetapi juga harus benar dalam bermuamalah. Dengan kata lain, umat Islam itu di samping memiliki kesalehan ritual, juga harus memiliki kesalehan sosial. Umat Islam harus bisa mengimplementasikan nilai-nilai ketauhidannya kepada Allah SWT dalam kegiatan sehari-harinya, baik dalam kegiatan politik, sosial, maupun ekonomi.
        Nilai-nilai tauhid harus diimplementasikan dalam muamalah kita sehari-hari misalnya dalam kegiatan ekonomi seperti berlaku jujur, adil, amanah, dan transparansi.

B.     Saran
        Kita sebagai umat Islam maka seyogyanya kita harus mengimplementasikan nilai-nilai tauhid dalam muamalah kita sehari-hari. Misalnya dalam kegiatan ekonomi seperti berlaku jujur, adil, amanah, dan transparansi.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Syahrastani, Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad. 2005. Al-Milal wa An-Nihal. Bairut: Daar al-Fikr.
Al-Tarabulisi, Husein Afandi al-Jisr. tt. Hushun al-Hamidiyah. Surabaya: Maktabah Tsaqafiyah.
Chapara, M. Umer. Is it Necessary to Have Islamic Economics?, journal of
Socio- Economics, Vol.29, 2000, pp.21-37.
Ghazanfar, S. M. 2003. Medieval Islamic Economic Thought: Filling the “Great Gap” in European Economics. London: Routledge Curzon.
Khaldun, Ibnu. 1971. Muqaddiman Ibnu Khaldun. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah.
Rais, M. Amien. 1996. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan.
Qardhawi, Yusuf. 2006. Daur al-Qiyam wa al-Akhlak fi al-Iqtishad al-Islami. Terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani.





[1]   Ibnu Khaldun, Muqaddiman Ibnu Khaldun (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1971), h. 363.
[2] Abu al-Fath Muhammad Abd al-Karim bin Abi Bakr Ahmad Al-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal (Bairut- Libanon: Daar al-Fikr, 2005), h. 32.
[3] Winardi, Kamus Ekonomi (Bandung: Mandar Maju, 1989), cet.ke-9.

[4] O’Brien, Dalam Ishlahi, 2004, h.77-78

0 komentar:

Posting Komentar